Berharap Pelayanan Kesehatan di Bojonegoro Semakin Baik
Selasa, 06 Oktober 2015 09:00 WIBOleh Muhammad Roqib *)
*Oleh Muhammad Roqib
Tidak ada orang yang mau jatuh sakit. Tetapi, kalau sakit sudah datang, apalagi tergolong parah maka jalan satu-satunya adalah pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Saya termasuk di antara penderita sakit yang sudah tergolong parah itu. Pekerjaan saya sebagai jurnalis dengan mobilitas tinggi sejak 2004 membuat saya sering lupa makan, kurang istirahat, dan pola hidup yang kurang sehat. Saya dulu sewaktu masih bertugas di Surabaya, Malang, Madiun, dan pernah di Jakarta sebentar, dan terakhir di Bojonegoro bekerja seolah tak kenal waktu. Kalau sudah ada kejadian atau peristiwa meski tengah malam sekali pun, kami para jurnalis akan berusaha di tengah-tengah peristiwa itu, meliput, mengumpulkan data, mewancarai narasumber yang berkaitan, dan melaporkannya pada pembaca. Kalau sudah begitu, kami sering lupa makan, sering lupa minum, dan terkadang juga sering lupa keluarga he he. Tugas utama kami adalah melaporkan peristiwa actual secara akurat dari lokasi peristiwa.
Namun, seiring bertambahnya umur, daya tahan tubuh ini menurun juga. Saya akhirnya jatuh sakit sekitar tahun 2013 lalu. Saya keluar masuk rumah sakit. Dokter bilang, saya terkena gangguan saluran pencernaan akibat pola hidup kurang sehat dan sering telat makan. Jaringan lambung rusak.
Semula saya rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Saya bersyukur teman-teman jurnalis di Bojonegoro membantu sehingga saya langsung bisa mendapatkan kamar. Saya lihat, banyak pasien lainnya yang menunggu begitu lama untuk mendapatkan kamar inap. Maklum, rumah sakit ini selalu penuh kelebihan pasien. Akhirnya yang terjadi adalah pasien selalu harus sabar mengantre lama untuk mendapatkan penanganan apalagi pasien yang menempati ruangan kelas tiga yang memakai fasilitas jamkesmas atau jamkesda.
Saya kemudian harus menjalani pemeriksaan lab, CT Scan, dan lainnya. Tetapi, seperti pasien lainnya meski sudah lama berbaring di kamar pasien dan diinfus, dokter spesialis yang menangani juga lama sekali memeriksa. Ini juga maklum, lantaran RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo ini kekurangan dokter spesialis. Belum lagi, dokter spesialis itu praktek di tiga rumah sakit yaitu RSUD Sosodoro Djatikoesoemo, RSUD Padangan, dan RSUD Sumberejo. Jadi, sebagai pasien harus ekstra sabar kalau ingin ditangani dokter spesialis. Sebab, antara jumlah dokter spesialis yang ada dengan jumlah pasien yang harus ditangani sama sekali tak sebanding. Lihat saja ketika dokter spesialis itu buka praktek di rumah, antrean panjang pasien pun selalu terlihat.
Setelah seminggu dirawat di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, saya diperbolehkan pulang. Saya menjalani rawat jalan. Namun, selang sebulan kemudian, saya kambuh lagi dan akhirnya dilarikan ke RSUD Padangan. Namun, pelayanan di rumah sakit ini menurut saya kurang memuaskan. Pelayanan perawat dan dokter yang menanganinya kurang ramah. Peralatan medisnya juga tidak lengkap. Maklum saja kalau banyak pasien di daerah barat Bojonegoro ini sering memilih berobat ke rumah sakit swasta di Cepu ketimbang ke rumah sakit Padangan ini. Selama beberapa hari rawat inap di rumah sakit Padangan ini, saya tak diperiksa oleh dokter spesialis sekali pun. Saya akhirnya minta pulang.
Atas saran pimpinan tempat saya bekerja, saya disarankan berobat saja ke Surabaya. Setelah saya pertimbangkan, saya akhirnya nekat berobat ke Rumah Sakit Siloam Surabaya. Ternyata memang, pelayanan dan penanganannya sangat ramah dan cepat. Setelah masuk ke ruangan rawat inap, dokter spesialis langsung memeriksa dan mengobrol keluhan yang saya alami. Perawatnya juga sangat ramah. Suasana yang dibangun penuh keakraban dan senyuman ini rupanya ikut membantu mengobati pasien, sekaligus menenangkan keluarga pasien yang menunggu.
Saya kembali menjalani pemeriksaan lab dan juga endoskopi. Dokter spesialis yang menangani saya kemudian memberi obat dan kondisi saya berangsur membaik. Seminggu saya rawat inap di rumah sakit itu dan akhirnya diperbolehkan pulang.
Dokter spesialis itu meski pun juga super sibuk dan menangani banyak pasien, ia tidak pelit berkomunikasi atau konsultasi dengan pasien. Beberapa kali saya telepon atau hubungi lewat pesan pendek mengenai keluhan yang rasakan, ia langsung member balasan pesan dan menelepon. Ia memberi resep obat yang bisa saya beli di apotik. Saya juga disarankan agar menjaga pola makan, pola hidup sehat, dan rutin untuk kontrol. Beberapa hari lalu saya kembali periksa ke dokter spesialis yang dia bercerita dulu juga menangani mantan Bupati Bojonegoro, Santoso, ini di Surabaya. Saya diantar dua teman baik saya. Saya periksa malam hari dan pasien atau keluarga pasien yang menunggu disuguhi teh dan roti gratis. Perawatnya juga ramah melayani dan menangani pasien, meski pun pasiennya juga banyak.
Saya jadi berpikir, seandainya pelayanan pasien di rumah sakit di Bojonegoro seperti di Surabaya ini, saya tidak perlu jauh-jauh ke Surabaya. Saya berpikir pula, mungkin karena tenaga dokter dan tenaga medis di Bojonegoro tidak sebanding dengan pasien sehingga pelayanan kurang maksimal. Bisa jadi pula, dokter dan tenaga medis kewalahan menangani pasien sementara kesejahteraan yang diberikan kurang sebanding. Tetapi saya pikir pula, APBD Bojonegoro kan cukup besar, pada 2015 ini saja APBD Bojonegoro mencapai Rp3,8 triliun dan sebagian besar anggaran dipakai untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Saya jadi berpikir pula, mengapa banyak pasien di daerah barat Bojonegoro memilih berobat ke rumah sakit swasta di Cepu, pasien di daerah timur Bojonegoro memilih berobat ke rumah sakit swasta di Lamongan, dan pasien di daerah selatan Bojonegoro banyak memilih berobat ke rumah sakit di Caruban, Madiun. Saya berpikir, sepertinya ada yang perlu dibenahi dalam pelayanan kesehatan di Bojonegoro mulai di tingkat Polindes, Puskesmas, hingga rumah sakit. Memang, sudah ada alur rujukan agar pasien ringan bisa ditangani di Polindes dan Puskesmas, tetapi pasien yang agak parah dirujuk ke rumah sakit. Ada banyak pula rumah sakit swasta di Bojonegoro yang kini sudah berdiri. Tetapi, sepertinya duit yang banyak dari sektor migas di Bojonegoro ini memang belum banyak memberi dampak peningkatan pelayanan kesehatan di Bojonegoro. Saya berharap semoga ke depan pelayanan kesehatan di Bojonegoro semakin baik. Salam.
Foto suasana pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Siloam Surabaya