Kopi Tidak Selalu Jadi Idaman
Rabu, 13 Januari 2016 19:00 WIBOleh Nasruli Chusna *)
Oleh Nasruli Chusna*
KOPI tidak selalu jadi idaman. Di suatu tempat kopi sedemikian digandrungi. Namun bisa tidak di tempat lain.
Satu tempat yang masyarakatnya kurang menggemari kopi adalah Mesir. Masyarakat dari negeri seribu menara itu lebih menggemari teh(Syai) di kehidupan sehari-hari mereka daripada kopi. Syai juga tidak akan terasa lengkap tanpa menghisap shisha, gaya menikmati tembakau ala Timur Tengah.
Tembakau shisha biasanya ada berbagai macam rasa. Yang paling diminati adalah rasa tuhfah (apel). Selain itu ada juga rasa kantalub (melon) dan faraulah (strobery). Jika khalayak tanah air sering menyebut
budaya nongkrong dengan ngopi, maka masyarakat Mesir sering nongkrong dengan sebutan ajiblak syae (hidangan teh panas). Tentu tidak lengkap tanpa adanya shisha.
Peraih Nobel bidang Sastra 1998, Najib Mahfudz, di salah satu bukunya, Harafish (America University Cairo, 2009), menjelaskan dia kerapkali mendapat inspirasi untuk karya-karyanya dari kebiasaannya nongkrong sembari menikmati segelas teh panas dan menghisap shisha. Dia juga punya komunitas yang diberi nama Harafish, persis seperti buku yang ditulisnya.
Belajar dari Najib Mahfudz, bahwa berkarya tidak harus menyepi dulu. Mencari inspirasi tidak harus bertapa pada satu tempat. Kemudian mengabaikan kejadian sekitar, dan menganggap apa yang ada di depannya tidak keren. Najib membuktikan bahwa apa yang terpampang di depan matanya pada dunia tongkrongan, bisa menghasilkan karya sastra yang berkualitas.
Terilhami dari sini bersama-sama dengan kawan sesama Mahasiswa Al-Azhar, Mesir, saya dan beberapa kawan bergerak di Rumah Budaya Akar. Pada komunitas itu kita berharap dapat saling memotivasi untuk
meningkatkan kualitas hidup. Sesekali pada forum shisa dan syae itu kita saling lempar pantun, puisi, bahkan olok-olokan.
Cerita, pantun, puisi dan olokan itu kemudian kami terbitkan di buletin kami. Beberapa bahkan menjadi sebuah buku. Seorang kawan dengan nama pena Walang Gustiyala, sekarang juga sudah menerbitkan
novelnya yang berjudul Hitam Putih Katarsis, yang isinya juga mengangkat seputar obrolan kami, ketika menikmati syae dan shisha di kafe-kafe Kairo.
Lantas apa yang sudah kita hasilkan dari budaya ngopi yang mewabah di sekitar kita? Sebagai kaum terdidik, semestinya kegiatan ngopi juga dapat menjadi embrio terhadap sesuatu yang besar. Tidak hanya sekedar menghabiskan waktu, dan berbual-bual tanpa arah. Sayangnya hal inilah, menurut hemat saya, yang mayoritas terjadi pada kaum muda kita.
*Jurnalis BBC, tutor bahasa Arab SMP Negeri 2 Bojonegoro