JALAN
Minggu, 21 Februari 2016 09:00 WIBOleh Mulyanto
Oleh Mulyanto
SAAT menyaksikan pertunjukan teater di Desa Padang, Kecamatan Trucuk, malam kemarin, Sabtu (20/02), sambil menikmati, saya berpikir mengapa harus menyaksikan langsung? Tidak terjawab memang, tetapi ada sensasi yang sulit saya jelaskan. Ada semacam getaran yang, seperti hanya saat menonton film dalam bioskop sementara kita makin mudah saja nonton film dari layar komputer.
Teater Rajekwesi menampilkan naskah Jalan. Saya menikmatinya meskipun tak sepenuhnya memahami. Dua orang naik sepeda, Balong dan Pethak. Keduanya beradu pandangan saat naik sepeda, Balong ingin ke kanan, dan Pethak ingin ke kiri.
Keduanya terus padu saat menngayuh sepeda. Nampaknya rukun dalam satu kendaraan, dalam satu kebersamaan, tetapi masing-masing menyimpan kesendiriannya masing-masing.
Ini senada dengan Bukan Pasar Malamnya Pramoedya Ananta Toer. Cerita tentang kenangan bersama sang ayah Pram itu berkisah tentang peristiwa kematian yang sepenuhnya adalah sendiri. Mati, dengan begitu satir dan ejekan, digambarkan dengan begitu apik dan menggugah dalam novel itu, bahwa pada akhirnya orang musti berpisah dari hiruk pikuk yang selama hidup bisa diyakini sebagai sebuah kebersamaan yang kokoh dan bakal abadi. Hingga tiba di suatu titik diaman ternyata itu harus direlakan kepalsuannya. Manusia, makhluk yang sendiri dengan jalannya masing-masing. Seperti pasar malam. Ramai penuh manusia, gemerlap lampu dan suara ingar bingar, tapi semakin malam beranjak, keramaian semakin menyusut hingga tiba pada titik dimana kesepian yang tersisa.
Jalan menyuarakan itu. Lihatlah mereka akhirnya berpisah. Membiarkan sepeda yang mereka kendarai, sebagai simbol kebersamaan, tergolek sendiri. Mereka melanjutkan jalan.
“Aku bisa berjalan dengan kakiku sendiri, ke kanan,” Balong berkata.
“Aku juga bisa berjalan dengan kakiku, ke kiri,” kata Pethak.
Begitulah, mereka semakin tua dan udzur dengan menempuh jalannya sendiri-sendiri.
Pertunjukan selesai. Dan para penonton yang tadinya tertawa saat menagkap kelucuan dan menjerit saat ada adegan yang terkesan menakutkan, buyar dan kesepianpun menjelang. Apa yang tersisa dari sebuah pertunjukan teater? Yang pasti, ini soal sensasi yang meskipun sering tak terpahami, ini penting. Ketika tontonan di era ini seakan-akan bisa datang dengan sendirinya melalui situs-situs di internet dan juga televisi. Setiap langkah menuju pertunjukan teater adalah sensasi yang menggembirakan dan penuh makna.