Obituari Khoirul Anam (1995-2017)
Kaki Gus Anam
Kamis, 02 Februari 2017 18:00 WIBOleh Mohamad Tohir
Oleh Mohamad Tohir
Ceritakan kepadaku bagaimana dia mati // Tidak, akan kuceritakan padamu bagaimana dia hidup (Dialog antara Kaisar dan Kapten Algreen dalam film The Last Samurai)
KHOIRUL Anam lahir 20 tahun yang lalu di sebuah desa di Kecamatan Balen. Dia pergi untuk selamanya malam kemarin, Rabu (01/02/2017) akibat kecelakaan.
Pemuda yang selalu riang di hadapan koleganya ini pernah bekerja bersama kami di beritabojonegoro.com (BBC). Dia bahkan termasuk satu dari sekian orang yang turut menyepakati berdirinya BBC pada pertengahan 2015 lalu.
Di kantor BBC yang penuh suasana kekeluargaan, kami memanggilnya Gus Anam. Kita tahu, gus adalah sapaan masyarakat untuk seorang anak atau keturunan kiai, sebagai tanda kehormatan sekaligus keakraban. Kami dengan enteng menyematkan sapaan itu untuk Irul, sapaan populer dia bagi kawan-kawan di organisasi yang dia geluti, juga bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Saya memang tidak punya banyak ingatan pribadi untuk diceritakan, selain obrolan sepele di suatu sore yang gerimis. Saat itu, di kantor BBC, saya membuatkan segelas kopi untuk Gus Anam. Sambil menyeruput, dia bercerita tentang aktivitasnya di luar kerja sebagai jurnalis. Dia mengaku banyak memiliki kegiatan di organisasi, termasuk pelajar NU (IPNU) dan kepanduan atau pramuka. Sejak itu pula saya tahu bahwa dia sosok yang aktif dan memiliki jiwa penggerak.
Dia juga mengeluh saat itu, mengapa gerakan massa seringkali tidak diimbangi dengan kematangan keilmuan. Saya tidak menanggapinya dengan baik, sebab saya tidak memahami betul maksudnya. Saya hanya mendongeng tentang Lord Boden Powell (pendiri gerakan pandu dunia) dari bacaan yang saya miliki, lalu meminjaminya sebuah buku berjudul Trilogi Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.
Gus Anam memang masih belum sempat mengenyam bangku kuliah, namun semangat ingin tahu yang dia punya mendapat apresiasi kami. Dia seringkali salah, tapi tak lekas menyerah. Dia tak malu untuk belajar. Dia juga kerap kali bertanya kepada saya, bagaimana menulis sebuah kata dengan baik dan juga cara menulis agar enak dibaca, meskipun saya tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan.
Hingga saat ini pun, kami sama-sama tahu bahwa Gus Anam belum kunjung menulis dengan enak. Editor kami tidak jarang mengeluh. Tapi kami juga tahu bahwa tulisan yang dia buat bukan berasal dari kehampaan, melainkan dari kerja lapangan. Kami tidak bisa memandang sebuah tulisan hanya sebatas kumpulan huruf atau kata semata, melainkan juga prosesnya. Sesepele atau sependek apapun tulisan itu. Langkah kaki, bising kendaraan, terik matahari, lapar dan dahaga yang menyertai terbentuknya sebuah tulisan. Kami melihat kerja kaki Gus Anam.
Bukan hanya di BBC tentu saja. Di kampungnya, warga mengenalnya sebagai sosok yang ulet. Anang Sefriandi (24), seorang aktivis kepanduan di Kecamatan Balen, mengamini itu. Kata Anang, Gus Anam sosok cekatan; cak-cek dalam mengerjakan sesuatu, playon, tak kenal lelah, dan penuh percaya diri. Di kalangan mereka yang aktif dalam organisasi kepemudaan seperti IPNU dan Pramuka di Kecamatan Balen, pasti mengenal Gus Anam.
“Ibaratnya, dia itu menjadi kaki di setiap organisasi yang kami geluti. Tidak ada Irul (sapaan Gus Anam), sepertinya terasa pincang,” kata Anang menggambarkan betapa pentingnya Gus Anam.
Mengenai Gus Anam yang kata Anang adalah kaki di organisasi yang dia dan teman-temannya geluti, saya teringat dengan sebuah pasase Sindhunata. Yaitu dalam catatan pengantarnya pada buku Manusia & Pengharapan: Segelas Beras untuk Berdua, bahwa pekerjaan pertama seorang wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan, tulis-menulis. Selain bicara mengenai kerja jurnalistik Shindunata yang kerap menghindari wawancara melalui (melulu) telepon, Shindunata juga hendak menyampaikan pentingnya ringan kaki dalam melakukan sesuatu. Dan itu ditopang oleh kemauan. Saya ingat betul bahwa Gus Anam memiliki laku itu. Laku yang bagi sebagian orang dianggap kuno mengingat semakin canggihnya teknologi, di masa yang semua orang begitu mudahnya mendapatkan sesuatu tanpa harus beranjak dari tempat duduk.
Saat rombongan awak BBC datang di rumah duka pagi tadi, ratusan pelayat masih duduk takdzim. Seorang yang mengaku sebagai guru Gus Anam di bangku SLTP, Erlin Misidati, mengaku kehilangan sosok yang dia sebut selalu menonjol itu. Kata Erlin, Gus Anam sejak kecil sudah ‘kelihatan’ di kelas, dengan menjadi pemimpin di organisasi lingkup sekolah. Dia berharap banyak pada Gus Anam agar mejadi inspirasi generasi muda di Balen.
“Dia sregep, aktivitasnya banyak. Kegiatan-kegiatan di banyak organisasi dia ikuti, teman-teman mudanya banyak. Saya sebagai guru juga merasa kehilangan,” katanya.
Gus Anam memang telah pergi di usianya yang masih sangat muda. Tapi tak sepenuhnya benar kalau kita percaya bahwa dia pergi untuk selamanya dan terhapus sama sekali dari sejarah.
Sebagai sebuah obituari, catatan ini bukan untuk membuat pembaca percaya bahwa Gus Anam sepenuhnya sudah tiada. Melainkan berbagi kepercayaan bahwa menjalani kematian adalah laku yang tidak kekal. Sebagaimana ajaran agama yang menyebut bahwa setiap individu pasti mencicipi maut. Kita tahu, mencicipi berarti sebentar dan sementara. Maka, Gus Anam hanya sedang melanjutkan langkah kakinya di kehidupan yang sama sekali lain.
Selamat jalan, Gus Anam. Tak ada yang bisa kami lakukan di dunia yang terbatas ini selain berdoa. Doa dari semua yang percaya bahwa kakimu cukup ringan untuk kau ajak berjalan menuju kebaikan di alam yang serba terbatas ini. Doa agar kakimu juga cukup gesit untuk menapaki jalan di alam yang tak terbatas yang tengah mulai kau masuki kini.
Baca juga Almarhum Khoirul Anam di Mata Kerabat, Guru dan Kawan-Kawannya